Tradisi Layang Syekh yang dilakukan para sesepuh di Desa Kondangjajar, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran. Foto: Entang Saeful Rachman/HR
Berita Pangandaran, (harapanrakyat.com),-
Membaca kisah kehidupan Syekh Abdul Qodir Jaelani dalam Manaqibnya memang dikenal sejak dahulu. Bahkan, membaca manaqib di sebagian kalangan umat islam sejak dahulu kala menjadi sebuah “Garam” dalam setiap pelaksanaan berbagai kegiatan keagamaan seperti halnya setelah kelahiran seorang bayi maupun ritual lainnya.
Di wilayah Kecamatan Cijulang Pangandaran, tradisi membaca Manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani dikenal dengan Tradisi Layang Syekh yang mana setiap satu bulan sekali pada malam Jum’at kliwon selalu dibaca bersama para sesepuh masyarakat setempat bersama warga.
Lantaran tergerusnya zaman dan pengembangan tradisi tersebut kurang mendapat perhatian, Akim Ajim, salah satu sesepuh Kecamatan Parigi saat melakukan Tradisi Layang Syekh di Desa Kondangjajar Kecamatan Cijulang, kembali menggelar tradisi tersebut setelah sekian lama tidak dilakukan.
“Kita mulai kembali membaca sejak Kabupaten Pangandaran pisah dengan Kabupaten Ciamis secara perlahan, yakni setiap bulan puasa. Harapannya rutinan setiap bulan bisa kembali dibaca oleh masyarakat bersama para sesepuh,” katanya kepada HR Online, Senin (12/06/2017) lalu.
Sementara itu, Budayawan Pangandaran, Erik Krisna Yuda, menyebutkan, bahwa tradisi Layang Syekh perlu mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, khususnya Pemerintah Kabupaten Pangandaran. Sebab, tradisi tersebut bisa dibilang semakin memudar.
“Padahal, tardisi seperti ini bisa menjadi salah satu sarana untuk mengumpulkan masyarakat yang mana bisa membuat wisatawan tertarik. Selain menjadi sebuah tradisi yang unik, di dalam Layang Syekh juga mengajarkan kita soal kebaikan yang mana digambarkan dalam isinya kehidupan Syekh Abdul Qodir Jaelani,” tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan Didin, budayawan Pangadandaran lainnya. Menurutnya, meski tradisi membaca Manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani sudah menjadi bagian dari sebagian umat muslim di Indonesia, khususnya di tanah sunda ini, tradisi tersebut mestinya saat ini perlu dilestarikan kembali di wilayah Pangandaran.
Harapannya, kata Didin, selain membawa kebaikan bagi masyarakat Pangandara sendiri, tradisi tersebut juga bisa menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
“Kita saat ini sedang berusaha agar wisata menjadi tujuan dunia. Makanya, tradisi yang ada di masyarakat juga harus dikembangkan dan dikenalkan supaya wisatawan juga bisa menyaksikan tradisi yang melibatkan orang banyak ini. Jika tidak diperhatikan, saya yakin akan semakin jarang generasi kita yang melanjutkan hingga berdampak kepunahan tradisi yang padahal sudah turun temurun,” tegasnya. (Ntang/R6/Koran HR)