Dua wanita tua mencoba mendulang rupiah di antara tumpukan sampah di TPA Cibeurem, sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Tumpukan sampah kerap kali membuat orang merasa jijik melihatnya, terlebih jika sampah telah mengeluarkan aroma tak sedap, seperti halnya tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA).
Namun, bagi sebagian orang, sampah dapat dijadikan ladang mata pencaharian. Sudah bisa dipastikan, bahwa di setiap lokasi TPA, baik di kota-kota besar maupun kecil, kerap dipenuhi para pemulung.
Begitu pula di TPA Cibeureun, Dusun Babakan, Desa Cibeureum, Kec/Kota Banjar. Masyarakat sekitar yang hidupnya berada di bawah garis kemiskinan, mencoba mengais rejeki dari tumpukan sampah di tempat tersebut.
Mungkin jumlah pemulung di TPA Cibeureum tidak sebanyak di TPA yang ada di kota-kota besar. Saat HR menyambanginya, Sabtu (7/5), ada sekitar 20 pemulung tengah memilih dan memilah sampah.
Di sepanjang pinggir jalan menuju lokasi pembuangan akhir, tampak berdiri beberapa saung kumuh. Maklum saja, bahan untuk menutupi saung pun semuanya dari sampah.
Tempat tersebut mereka gunakan untuk sekedar beristirahat sejenak sambil menikmati makan bekal bawaan dari rumah masing-masing. Setelah itu kemudian mereka memilah sampah jenis anorganik dan sampah B3 hasil pungutannya.
Sebelum dibawa ke tempat pengepul untuk dijual, sampah yang telah dipilah dimasukan terlebih dahulu ke dalam karung, sehingga di sekitar saung terlihat banyak tumpukan karung.
Diantara mereka yang tengah beristirahat, tampak dua wanita tua masih sibuk di atas tumpukan sampah. Meski siang itu terik matahari cukup menyengat kulit, ditambah bau menyengat sampah busuk, namun tidak menyurutkan semangatnya dalam menjalani pekerjaannya itu.
Mereka adalah Maemunah (75), dan Iyoh (70). Walau usia keduanya telah renta, tapi kondisi fisik mereka masih terlihat cukup segar dan kuat. Menjadi pemulung di TPA Cibeureum telah dijalaninya sejak tempat tersebut dibuka sekitar tahun 2007.
Baik Maemunah maupun Iyoh mengaku, selain menjadi pemulung, mereka menjadi buruh tani jika sedang musim tanam atau panen di sawah.
“Ayana TPA di dieu jadi berkah kanggo nini mah, sabab nini henteu ngandelkeun ladang buburuh tani wungkul ayeunamah. Ah ageung mah henteu, nya lumayan tina hasil ngical palastik atawa kaleng tiasa manjangkeun kabutuhan dapur sadidinten,” tutur Maemunah, sesaat setelah beranjak dari tumpukan sampah menuju ke saung peristirahatan.
Langkahnya kemudian diikuti pula oleh Iyoh, keduanya menempati saung yang sama. Jarak dari lokasi pembuangan akhir memang tidak begitu jauh, namun karena jalannya cukup menanjak, sehingga langkah kaki keduanya terlihat lunglai.
Sesampainya di saung, mereka membuka karung yang berisi sampah hasil pungutannya untuk dipilah kembali. Kemudian Maemunah dan Iyoh pun beristirahat sejenak menghilangakan rasa capeknya.
Dari dalam saung tampak dua buah rantang plastik berisi nasi berikut lauk pauknya, serta dua buah botol plastik bekas air mineral yang diisi air teh.
Kedua tangan mereka kali ini sibuk membuka bekal makanan masing-masing. Dengan hanya menggunakan sebagian air minumnya, mereka membersihkan jari-jari tangannya sebelum menyantap bekal makannya.
Selesai makan, Maemunah dan Iyoh memutuskan untuk pulang. Menurut mereka, hasil pungutan sampah yang diperolehnya hari ini cukup mucekil. “Alhamdulillah rada seueur nu tiasa pajeng diical, sapertos gelas palastik tilas cai aqua. Ayeuna mah bade uih bae, enjing diteraskeun deui,” ujar Iyoh, sambil beranjak dari duduknya.
Akhirnya mereka pamitan kepada pemulung lainnya dan perlahan meninggalkan TPA menuju ke rumahnya masing-masing.