Banjir pernah terjadi di Cijulang Pangandaran pada tahun 1940. Tragedi yang tercatat dalam sejarah Indonesia ini menyebabkan dua kampung tenggelam dan puluhan hektar sawah gagal panen. Akibatnya krisis beras pun terjadi saat itu.
Selain kegagalan panen yang mengakibatkan kekurangan sumber pangan, dan menenggelamkan dua kampung sekaligus, banjir di Cijulang tahun 1940 juga menyebabkan macetnya distribusi pemerintah kolonial yang sedang kacau akibat Perang Dunia II.
Baca Juga: Sejarah Pengusaha Kopra di Pangandaran Diculik Jepang, Kuwu Sidamulih Tewas Dipenggal
Pasokan hasil perkebunan yang dikirim dari Pangandaran untuk beberapa daerah di Priangan Timur dan Jawa Tengah terhambat karena banjir tersebut. Akibatnya pemerintah kolonial mengalami kesulitan dalam memperoleh kebutuhan pokok.
Hal itu lantaran jalur kereta api arah Banjar ke Cijulang terendam banjir yang membuat distribusi barang kebutuhan pokok terganggu.
Banjir di Cijulang Pangandaran Tahun 1940 Akibat Cuaca Buruk
Koran Belanda “Bataviaasch Nieuwsblad” dengan tajuk berita Bandjir yang terbit tanggal 17 Desember 1940, menyebutkan bencana banjir yang menimpa Cijulang ini karena faktor cuaca yang buruk.
Cuaca ekstrim membuat hujan turun terus menerus. Seharian wilayah Pangandaran, termasuk Cijulang diguyur hujan hampir tiga hari berturut-turut.
Hal ini pun mengakibatkan genangan air naik dua kali lipat dari biasanya. Debit air yang tinggi karena hujan kemudian menyebar hingga menimbulkan banjir setinggi 4 meter dari atas permukaan tanah.
Selain mengakibatkan genangan air yang naik dua kali lipat, salah satu faktor yang paling utama dalam peristiwa banjir di Cijulang ini antara lain karena bendungan Cikembulan yang meluap.
Oleh sebab itu, luapan bendungan tersebut mengalir dan mengairi beberapa daerah ke arah Selatan hingga sampai ke daerah Parigi dan Cijulang.
Faktor bendungan Cikembulan yang meluap ini juga mengakibatkan puluhan hektar sawah di Cijulang, dan sekitarnya terendam air banjir.
Maka dari itu petani di Cijulang mengeluh karena dalam jangka waktu yang dekat, padi yang sudah menguning itu akan dipanen. Namun karena banjir, harapan itu gagal.
Selain menenggelamkan puluhan hektar sawah di Cijulang, cuaca buruk ini juga memicu terjadinya wabah malaria.
Baca Juga: Perampokan di Pangandaran Tahun 1953: Kuwu Terbunuh, 14 Rumah Terbakar!
Banyak penduduk Pangandaran-Cijulang yang menderita penyakit ini. Menurut peneliti Belanda, kesakitan pribumi di daerah tersebut akibat terjangkit malaria karena air hujan yang menggenang mendukung perkembangbiakan nyamuk malaria dengan cepat.
Masalah banjir di Cijulang ini baru berhenti pada awal tahun 1941. Namun pada pertengahan tahun 1942 cuaca buruk kembali terjadi di daerah Cijulang. Akibatnya bencana banjir pun kembali terjadi.
Tidak Menimbulkan Korban Jiwa
Meskipun dua kampung tenggelam dan petani mengalami gagal panen, peristiwa banjir Cijulang tahun 1940 ini tidak menimbulkan korban jiwa.
Kendati pun demikian, kerugian yang dialami oleh penduduk desa dan administrator pemerintah kolonial di Cijulang cukup besar.
Selain mengalami kerugian yang cukup besar, para penduduk di Cijulang pasca banjir melanda kampung mereka, memicu terjadinya wabah kelaparan yang mengkhawatirkan.
Para petani mengeluh karena solusi pemerintah kolonial memberikan bangunan irigasi (bendungan di Cikembulan) tidak bisa menyelesaikan musibah gagal panen.
Mungkin jika musim kemarau, bendungan ini justru diperlukan untuk mengairi sawah supaya tidak mengalami kekeringan, namun ketika hujan tiba dan mengakibatkan banjir, air justru menggenangi sawah mereka hingga terancam gagal panen.
Kegagalan panen ini mengakibatkan kesulitan beras bagi penduduk Pangandaran, dan sekitarnya.
Baca Juga: Uyeng Suwargana: Tokoh Pendidikan Pangandaran, Intel Kepercayaan AH Nasution
Adapun beberapa daerah yang terdampak dari bencana ini antara lain terdiri dari, Kalipucang, Pangandaran, Parigi, Cijulang, dan Kalapa Genep.
Menghambat Jalur Kereta Api Cijulang-Banjar
Dalam“Bataviaasch Nieuwslad: Bandjir” tanggal 13 Januari 1942, telah diinformasikan bahwa akibat banjir yang dahulu pernah terjadi di Cijulang pada tahun 1940, kini kembali terulang dan menimbulkan dampak yang lebih parah dari sebelumnya.
Salah satu dampak yang paling parah dari banjir di Cijulang pada tahun 1942 yaitu, menenggelamkan 20 Km rel Kereta Api jalur Cijulang-Banjar.
Despoorban atau hambatan jalur Kereta Api ini tenggelam dan sama sekali tidak bisa dilewati oleh kereta.
Kereta Api berhenti dan hanya bisa mengantar penumpang sekaligus menjemput hasil perkebunan di Cijulang di stasiun Pangandaran.
Menurut petugas kereta yang saat itu bertanggung jawab atas perjalanan Banjar-Cijulang, kebijakannya tersebut sesuai dengan prosedur perkeretaapian saat melewati daerah rawan bencana banjir.
Hal tersebut bertujuan meminimalisir terjadinya kecelakaan pada Kereta Api dan penumpang. Oleh sebab itu, dengan terpaksa kereta dari arah Banjar tujuan Cijulang hanya bisa berhenti sampai stasiun Pangandaran.
Meskipun demikian, pemerintah kolonial dan badan swasta Kereta Api Banjar-Pangandaran terus berupaya menemukan solusi. Alhasil setelah banjir surut selama 2-3 hari, pemerintah kolonial Belanda baru melakukan perbaikan.
Kereta Api Banjar-Cijulang kembali beroperasi setelah selesai pengecekan pada semua persyaratan perjalanan. Adapun Kereta Api Banjar-Cijulang ini selain memberikan kursi untuk penumpang, kereta ini juga memiliki gerbong khusus untuk membawa hasil bumi. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)