Profil Djuanda Kartawidjaja menarik untuk diulas kembali mengenai sejarahnya. Sebab intelektual bangsa asal Tasikmalaya, Jawa Barat ini tercatat sebagai Pahlawan Nasional yang jarang diketahui oleh masyarakat umum.
Padahal wajah Djuanda Kartawidjaja diabadikan dalam uang pecahan Rp 50.000. Hal ini menandakan Djuanda memiliki kiprah yang penting dalam memajukan bangsa dan negara Indonesia.
Kendati pun demikian, ada sebagian yang mengetahui Djuanda Kartawidjaja sebagai seorang teknokrat.
Selain itu Djuanda juga dikenal sebagai seorang cendikiawan Muslim yang aktif dalam berbagai organisasi kebangsaan. Salah satunya Muhammadiyah dan Paguyuban Pasundan.
Profil Djuanda Kartawidjaja, Pahlawan Nasional dari Tanah Sunda
Djuanda Kartawidjaja lahir pada tanggal 14 Januari 1911 di Kota Tasikmalaya. Beliau lahir dari keluarga ningrat atau orang Sunda menyebutnya dengan keluarga menak.
Ayahnya Raden Kartawidjaja dan ibunya Nyi Monat mendidik Djuanda kecil dengan didikan Barat.
Hal ini tak lepas dari profesi Raden Kartawidjaja yang saat itu merupakan guru di sekolah dasar zaman Hindia Belanda, Hollandsch Inlandsch School (HBS).
Menurut Raden Kartawidjaja pendidikan Barat bisa membuat bangsa bumiputera terlepas dari jeratan penjajahan.
Baca Juga: Biografi dr R Rubini Natawisastra: Lahir di Bandung, Berjuang di Kalimantan Barat
Oleh sebab itu ketika usia Djuanda memasuki umur enam tahun, Raden Kartawidjaja memasukan anaknya di sekolah yang mana merupakan kantornya sendiri.
Namun karena pertimbangan akan dianggap bekerja secara subjektif, akhirnya Raden Kartawidjaja memindahkan anaknya ke sekolah khusus orang Eropa.
Saat itu Djuanda berpindah sekolah di Europesche Lagere School (ELS). Meskipun biayanya mahal, ayahnya menyekolahkan Djuanda karena ingin menunjukkan pada Belanda jika pribumi juga mampu memiliki kualitas intelektual yang sama dengan orang-orang Eropa.
Setelah lulus dari ELS pada tahun 1924, Djuanda melanjutkan sekolahnya ke Hogere Burgerschool te Bandoeng (HBS-Bandung). Semasa bersekolah di sana nama Djuanda dikenal sebagai anak yang pandai.
Maka setelah lulus HBS pada tahun 1929, namanya terdaftar masuk menjadi calon Mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS). Sekarang sekolah teknik itu bernama Institut Teknologi Bandung (ITB). Djuanda lulus dengan predikat memuaskan sebagai sarjana teknik pada tahun 1933.
Seorang Teknokrat yang Mudah Bergaul
Awaloedin Djamin dalam buku “Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator, Teknokrat Utama”, (2001) menyebut Djuanda Kartawidjaja sebagai profil teknokrat yang mudah bergaul.
Siapapun, dari mana pun, dan berprofesi apapun dianggap sama oleh Djuanda. Teknokrat asal Tasikmalaya ini mengedepankan asas kekeluargaan dalam interaksi sosial.
Hal ini pula yang membuat Djuanda akhirnya terjun ke ranah politik pada zaman perebutan Kedaulatan RI dari Belanda tahun 1949-1950-an.
Baca Juga: H. Salahuddin bin Talabuddin, Haji Merah yang Dapat Gelar Pahlawan Nasional 2022
Pergaulan Djuanda yang mudah akrab tercermin pula dari peristiwa selepas lulus dari THS tahun 1933.
Karena dulu zaman Mahasiswa sudah akrab dan dekat dengan orang-orang Muhammadiyah, maka pertama kali Djuanda bekerja menjadi guru sekaligus pimpinan di Sekolah Muhammadiyah, Jawa Barat.
Ketika menjadi guru Muhammadiyah nama Djuanda populer di kalangan pemerintah Hindia Belanda. Penyebab ketenaran ini tidak lain karena Djuanda sering melakukan hal baru dalam bidang pendidikan dan pengajarannya di sekolah Muhammadiyah.
Karena tersohor sebagai guru Muhammadiyah yang berprestasi, Djuanda Kartawidjaja akhirnya terpilih menjadi Pegawai Departemen Pekerjaan Umum Wilayah Priangan.
Tugasnya memberi masukan pemerintah Hindia Belanda akan rencana pembangunan kota yang sesuai dengan kaidah-kaidah bidang kesarjanaannya yakni Teknokrat.
Menjadi Pahlawan Nasional Pada Tahun 1963
Djuanda merupakan seorang teknokrat yang pernah bekerja di Departemen Pekerjaan Umum Wilayah Priangan, pada masa pemerintah Hindia Belanda. Ia juga tersohor sebagai Pahlawan Nasional sejak tahun 1963.
Lantas apa yang menyebabkan Djuanda jadi Pahlawan Nasional. Jawabannya karena Djuanda memiliki kiprah penting di bidang birokrasi Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
Baca Juga: Haji Ahmad Sanusi, Pahlawan Nasional 2022 dari Sukabumi
Salah satu kiprah penting yang pernah dilakukannya adalah mencetuskan Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Dalam deklarasi ini, Djuanda yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri menyatakan pada dunia bahwa laut Indonesia merupakan satu kesatuan dalam wilayah NKRI.
Dengan kata lain, Djuanda menciptakan sudut pandang NKRI sebagai negara kepulauan, yakni NKRI sebagai negara perairan yang mengelilingi pulau di dalamnya. Oleh sebab itu laut Indonesia merupakan hak dan milik negara, dan rakyat seutuhnya.
Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai alternatif pembebasan laut Indonesia dari penguasaan asing. Dengan demikian Presiden Sukarno melalui Kepres No. 224/1963, mengangkat nama Djuanda Kartawidjaja sebagai Pahlawan Nasional. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)