Operasi Gagak merupakan peristiwa Agresi Militer Belanda ke-II yang meletus pada tanggal 19 Desember 1948. Kejadian bersejarah ini pernah heboh dan memicu reaksi dunia Internasional. Sebab misi perang Belanda tersebut banyak menimbulkan korban.
Gerakan Operasi Gagak terjadi di Yogyakarta. Ibu Kota Indonesia saat itu. Belanda sengaja datang dan mengakuisisi Yogyakarta untuk merepresentasikan kekuasaan.
Untuk melancarkan penguasaan daerah tersebut, tentara Belanda terlebih dahulu menduduki Landasan Udara Maguwo.
Setelah Belanda berhasil menduduki Maguwo, pasukan perang mendiang Ratu Wilhelmina itu meringkus Sukarno-Hatta dan tokoh Nasional Haji Agus Salim serta Sutan Sjahrir di Istana Agung Yogyakarta.
Baca Juga: Polisi Lapangan Veldpolitie, Cara Kolonial Belanda Awasi Pribumi
Selain berhasil membekuk para ekstrimis Republik konon Belanda juga puas karena dalam aksi Operasi Gagak tahun 1948 tersebut, tentara mereka sukses menghabisi pejuang.
Laporan Belanda mencatat ada 128 pejuang Republik yang tewas oleh serangan Belanda di Maguwo pasca serangan membabi buta di pagi hari yang kelam.
Sejarah Operasi Gagak Siasat Belanda Menguasai Kembali Indonesia Tahun 1948
Belanda telah melanggar perjanjian Renville yang isinya tentang kesepakatan mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
Dalam perjanjian tersebut, Belanda juga menjanjikan pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dapat membantu kaum Republik mendirikan sebuah negara baru yang berdaulat.
Pelanggaran Belanda pada kaum Republik salah satunya dengan melakukan Agresi Militer II dan menamakan aksinya tersebut dengan sebutan Operasi Gagak.
Mereka sengaja melanggar peraturan Renville untuk merebut kembali Indonesia. Belanda tidak rela negeri jajahan yang kaya ini hilang dari genggamannya.
Menurut Jacques Bertrand dalam buku berjudul ”Nationalism and Ethic Conflict in Indonesia” (2004), konflik yang melibatkan Operasi Gagak di Indonesia sebetulnya adalah ajang balas dendam pasukan Belanda yang kala itu terpukul oleh peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Kekacauan perang di Surabaya telah menimbulkan dendam berkepanjangan antara pejuang dan tentara Belanda. Kendati banyak korban berjatuhan dari kaum republieken Belanda merasa belum puas membalaskan dendam atasannya yang terbunuh, Jenderal Mallaby dalam peristiwa tersebut.
Karena pemerintah Belanda saat itu memberi celah untuk balas dendam, maka tentara Belanda merealisasikan Operasi Gagak dengan menyerang beberapa titik vital Republik yang berada di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Baca Juga: Koran Doenia Bergerak, Corong Pribumi Suarakan Kemerdekaan
Mereka menurunkan prajurit terjun payung di Landasan Udara Maguwo yang sekarang jadi Lanud Adisucipto.
Menurut Sejarawan IAIN Surakarta, Aan Ratmanto dalam Film Dokumenter Sejarah berjudul “Lonceng Kematian Kolonialisme Belanda” (2022), tujuan penguasaan Maguwo adalah bagian dari misi Belanda membangun “Jembatan Udara”. Fungsinya untuk mengangkut pasukan mereka dari Semarang ke Yogyakarta.
Operasi Gagak Menghancurkan Militer Republik
Sebagian sejarawan di Indonesia menilai penetrasi Operasi Gagak di Yogyakarta merupakan bagian dari upaya Belanda untuk menghancurkan kekuatan militer Republik.
Dalam hemat, Belanda militer merupakan kunci utama untuk meruntuhkan kedaulatan. Artinya ketika militer republik runtuh, maka kedaulatan negara ikut runtuh bersama.
Oleh sebab itu prajurit yang tergabung dalam Operasi Gagak tak segang membantai tentara Republik dengan sadis. Ketika kejadian ini berkecamuk korban tentara republik yang tewas lebih dari 150 orang jumlahnya.
Para pejuang rela mengorbankan nyawa mereka untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Sekalipun nyawa harus jadi taruhannya mereka tak mempersoalkan.
Sebab saat itu romantika revolusioner para pemuda sedang bergejolak. Emosional revolusi membuat semuanya jadi buta.
Apalagi setelah Belanda menyatakan kejujurannya bahwa Operasi Gagak merupakan bukti nyata negaranya tak lagi berjalan di atas perjanjian Renville.
Dengan kata lain negeri penghasil keju terbesar di dunia ini telah mengingkari janji-janjinya dengan kaum Republik.
Mereka lakukan itu semua untuk menghancurkan militer sekaligus kedaulatan Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Pejuang Republik terjebak, Sukarno-Hatta dan para tokoh Nasionalis tertangkap Belanda.
Kunci satu-satunya mempertahankan kekuatan militer ada di tangan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Menamakan Agresi Militer dengan Aksi Polisional
Ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memeriksa infiltrasi Belanda di Indonesia, negara Kumpeni tersebut mengatakan Agresi Militer yang mereka lakukan tidaklah benar.
Itu hanya akal bulus kaum Nasionalis agar mendapat perhatian dunia. Belanda mengaku perbuatan kejamnya itu sebagai aksi polisionil.
Aksi polisionil merupakan kegiatan pengamanan. Belanda melakukan pengamanan daerah jajahannya dari kaum ekstrimis. Seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Haji Agus Salim, Soedirman, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Syekh Palsu Snouck Hurgronje, Siasat Belanda Kalahkan Rakyat Aceh
Perspektif mereka tentang aksi polisionial merupakan respon positif untuk mengamankan bangsa Indonesia.
Sebab Belanda masih merasa berhak atas pengendalian sosial di negerinya Hindia Belanda. Kaum penjajah Indonesia itu hanya hilang sementara dan meninggalkan Hindia Belanda akibat kalah dalam Perang Dunia II.
Ketika Perang Dunia II berakhir mereka kembali lagi ke Hindia Belanda dalam keadaan masyarakat di sana menjadi berbeda. Namanya berubah jadi Indonesia, begitupun dengan bendera berwarna merah dan putih.
Oleh sebab itu, sudut pandang Belanda melihat ini sebagai tindakan ekstrimis dalam merebut pemerintahan yang sah secara revolusioner. Karena itu Belanda melancarkan operasi Gagak tahun 1948 untuk menumpas para ekstrimis.
Belanda mengakui aksi polisional mereka merupakan strategi menghancurkan militer Republik. Kantong-kantong revolusi tersebut harus hancur secepatnya, mereka (tentara republik) belum punya izin dari Belanda mendirikan power militer.
Mereka harus patuh kembali pada Belanda, sedang jalan satu-satunya menuju ke sana yaitu dengan cara menghancurkan basisnya hingga ke serabut halus akar-akan revolusionernya. Sasaran terakhir Belanda saat itu adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)