Sejarah depresi besar merupakan sebutan lain dari istilah Malaise. Artinya sebuah zaman yang serba sulit akibat terpuruknya ekonomi dunia. Ketika kejadian ini terjadi seluruh dunia terkena dampaknya, termasuk negara Kita Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belanda.
Menurut catatan sejarah kolonial Belanda di Indonesia peristiwa malaise telah mengakibatkan sebagian besar penduduk pribumi tewas akibat penyakit busung lapar. Mereka tak kuat dengan keadaan yang serba sulit ini, untuk mendapatkan sesuap nasi saja susah.
Baca Juga: Sejarah Zaman Malaise: Ekonomi Dunia Lesu, Pribumi Busung Lapar
Peristiwa yang malang ini terjadi begitu lama. Kurang lebih selama 10 tahun ekonomi dunia terlilit depresi besar (malaise). Selama itu pula bangsa pribumi terancam nyawanya akibat kelaparan.
Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas latar belakang terjadinya peristiwa tersebut. Apa sih penyebab utama depresi besar ini terjadi, dan bagaimana pribumi yang selamat dari wabah busung lapar ini bisa survive? Berikut ulasannya.
Awal Sejarah Depresi Besar Zaman Belanda
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kemunculan awal dari sejarah depresi besar disebabkan oleh karena bobroknya ekonomi dunia. Mata uang dunia turun secara drastis sejak tahun 1929. Akibatnya selama kurang lebih 10 tahun dunia mengalami inflasi besar-besaran.
Menurut berbagai literatur, peristiwa depresi besar ini dilatarbelakangi jatuhnya Bursa Saham dunia di New York sejak tanggal 24-29 Oktober 1929. Karena peristiwa ini terjadi maka aktivitas ekonomi di seluruh dunia berhenti.
Akibatnya perdagangan Internasional ikut berhenti, termasuk perdagangan rempah yang kala itu berpusat di Hindia Belanda (Nusantara).
Banyak orang Belanda di sana yang frustasi dan memilih pulang ke negara asalnya. Bahkan laporan kolonial mencatat banyaknya kantor imigrasi Belanda yang mengurus izin deportasi.
Kejadian ini tidak saja hanya ada di Hindia Belanda, sebab adanya keinginan untuk balik ke tempat asal orang-orang kolonial terjadi di beberapa wilayah dunia yang mengalami penjajahan.
Mereka terpukul karena Malaise, begitupun dengan keluarganya yang ada di Eropa. Para penjajah ini ingin pulang takut akan terjadi sesuatu pada anak-istrinya di sana. Oleh sebab itu mereka rela meninggalkan “tambang emas” dan memilih pulang.
Pribumi Menderita Busung Lapar
Menurut Riadi Ngasiran dalam buku “Kesabaran Revolusioner Djohan Sjahroezah: Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah” (2015), akibat terjadinya peristiwa depresi besar sebagian besar penduduk pribumi menderita busung lapar.
Mereka kesulitan mendapatkan makan, apalagi mencari kerja untuk memperoleh dana akan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Peristiwa ini digambarkan oleh Riadi begitu tragis dalam bukunya.
Baca Juga: Gundik Era Kolonial: Punya Suami, Jual Diri pada Serdadu di Tangsi Militer
Bahkan ada yang sampai orang-orang pribumi yang terlampau kelaparan dan hanya bisa minum menderita penyakit busung lapar. Bagi mereka yang menderita penyakit ini nyawanya tak tertolong setelah 3-4 hari memiliki persoalan dengan saluran cerna.
Mereka tewas secara mengenaskan. Jasadnya tergeletak di pinggir jalan atau bahkan tergeletak begitu saja di gubuk-gubuk yang tak terawat di pinggiran kota. Kebanyakan terjadi di kota-kota besar layaknya Batavia, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Solo.
Para penderita busung lapar tersebut tak mendapatkan pertolongan langsung dari pemerintah kolonial saat itu. Mereka justru membiarkan pribumi mati untuk mengurangi beban ekonomi negara yang semakin menipis akibat kebutuhan yang mahal dan langka.
Melatih Kemandirian Ekonomi
Masih menurut Riadi Ngasiran dalam judul buku yang sama, adanya peristiwa depresi besar secara tidak langsung telah melatih kemandirian ekonomi bangsa Indonesia hingga saat ini.
Kejadian fatal zaman kolonial itu telah melatih sendi-sendi penting ekonomi masyarakat agar terhindar dari kesulitan ekonomi.
Baca Juga: Belanda Hitam yang Malang, Kisah Orang Afrika jadi Serdadu di Jawa
Salah satu cara untuk mengupayakan keinginan tersebut dengan berdagang. Hal ini terlihat pada aktivitas ekonomi pribumi zaman kolonial yang pulih akibat berjualan. Mereka menjadi pemilik modal bukan lagi pekerja yang bisa membebankan ekonomi negara.
Para pribumi ini kerap menjadi pengusaha swasta yang sedikit demi sedikit terus berkembang hingga sukses menjadi penguasa modal di pasaran.
Meskipun masih ada yang menderita kelaparan, namun setidaknya pada tahun 1940-an mereka yang menderita busung lapar tertolong oleh para pedagang kaya.
Dengan demikian seiring peristiwa depresi besar ini berakhir maka masyarakat pribumi turut belajar bagaimana cara mengatasi persoalan tersebut.
Salah satunya dengan menyisihkan modal usaha untuk menjadi pengusaha swasta, kendati pun kecil-kecilan tapi usaha ini bisa menyelamatkannya agar peristiwa kelam ini tak lagi terulang. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)