Kondisi hutan di kawasan konservasi Cisaladah, tepatnya di Desa Selasari, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. Foto: Asep Kartiwa/HR
Pangandaran, (harapanrakyat.com),-
Menindaklanjuti aksi pembakaran saung yang diduga milik para penjarah hutan oleh seratusan warga yang tinggal di sekitaran hutan konservasi di wilayah Pangandaran, Perum Perhutani menyatakan, pihaknya juga selama ini tidak tinggal diam terhadap aksi pembalakan liar.
Humas Perum Perhutani, Andri, Selasa (22/9/2014), mengatakan, pihaknya sudah berusaha keras untuk menindak oknum warga penjarah kayu di hutan konservasi. Diakui Andri, saat ini masyarakat Pangandaran memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap kelestarian hutan.
“Semoga saja permasalahan yang saat ini sedang terjadi bisa terselesaikan dengan cepat, aman dan kondusif,” ungkapnya.
Sebelumnya, seratusan warga di sekitaran hutan konservasi yang dikelola Perhutani, meliputi Desa Selasari, Kecamatan Parigi, Desa Bangunkarya, Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Pangandaran dan Desa Kalijaya, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, berbondong-bondong memasuki kawasan pegunungan Kaliwuluh yang berada di perbatasan Kabupaten Pangandaran dengan Kabupaten Ciamis, Minggu (21/09/2014).
Mereka sengaja pergi ke dalam hutan untuk mencari pembalak liar yang selama ini meresahkan masyarakat Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Sesampainya di lokasi, warga merusak dan membakar tujuh saung atau gubuk yang diduga kerap ditempati oleh para pembalak.
Refi, warga Selasari, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, mengaku sengaja membakar saung-saung milik para pembalak liar. Menurut dia, hal tersebut dilakukan karena warga kesal dengan ulah para pembalak liar yang telah merusak dan menjarah hutan dengan seenaknya.
Jenis kayu yang seringkali dijarah, kata Refi, diantaranya jenis Mahoni, Jati dan kayu hutan yang berusia ratusan tahun.
Sependapat dengan itu, Asep, warga Kalijaya, Kecamatan Banjarsari, Ciamis, Minggu (21/9/2014), menyatakan, aksi penjarahan hutan dilakukan oleh oknum warga dari luar anggota Serikat Petani Pasundan (SPP).
“Pembalak atau penjarah hutan ini di luar SPP. Itu terbukti saat salah pembalak yang sedang berada di hutan dipergoki sedang menjarah kayu. Dia pun tidak bisa menunjukan identitas apapun, termasuk KTP,” jelas Asep.
Sementara itu, Kepala Desa Bangunkarya, Yaya Sunarya, Minggu (21/9/2014), mengatakan, aksi penjarahan di hutan konservasi sudah berlangsung sekitar 9 sampai 10 tahun kebelakang lamanya.
“Dan saat ini penjarahan masih terus terjadi, bahkan hampir setiap hari terjadi,” katanya.
Menurut dugaan Yaya, sebenarnya Perhutani sudah mengetahui adanya aksi penjarahan hutan tersebut. Namun selama ini, dirinya mensinyalir, Perhutani menutup mata terhadap aksi tersebut. (Ntang/Koran-HR)