Berita Pangandaran, (harapanrakyat.com),- Puluhan warga Desa Sukaresik, Kecamatan Sidamulih, Kabupaten Pangandaran, yang tergabung dalam Forum Peduli Desa Sukaresik dan Harim Laut, mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pangandaran, Jum`at (11/03/2016).
Warga sengaja datang ke DPRD Pangandaran untuk menggelar audiensi terkait tanah harim laut dan sungai seluas lima hektar, tepatnya di kawasan Objek Wisata Karang Tirta yang kini sudah bersertifikat atau menjadi hak milik perorangan.
Ketua Forum Peduli Desa Sukaresik dan Harim Laut, Jemono, Jum`at (11/03/2016), mengatakan, kepemilikan tanah di harim laut dan harim sungai menyalahi aturan dan cacat hukum. Pihaknya meminta pemerintah daerah dan DPRD untuk kembali mengkaji ulang kepemilikan sertifikat tersebut.
“Dalam Undang-undang Pokok Agraria No 5/1960 menegaskan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,” kata Jemono.
Jemono menegaskan, keberadaan lima sertifikat atas lahan seluas lima hektar itu meresahkan dan memicu konflik di tengah masyarakat. Pihaknya juga khawatir, lahan itu kemudian diperjualbelikan kepada pihak luar (investor).
“Kami tidak ingin tanah yang merupakan warisan leluhur ini beralih fungsi dengan dalih pengembangan wilayah yang sebenarnya hanya menguntungkan segelintir pihak saja,” katanya.
Senada dengan itu, Edin, warga Sukaresik, berharap lima sertifikat atas lahan seluas lima hektar itu segera dicabut. Dan tanah tersebut dikembalikan ke negara atau dikelola pemerintah.
Edin menyebutkan, lahan seluas lima herktar itu dikuasai atasnama Solihin dengan nomor sertifikat 167 Kavling 4, Fatmawati dengan nomor sertifikat 170 Kavling 2, Iwan Setiawan dengan nomor sertifikat 169 Kavling 1, Onih dengan nomor sertifikat 171 kavling 3.
“Terlebih, semua pemilik lahan tersebut bukan warga pribumi,” kata Edin.
Pada kesempatan itu, Edin menegaskan, warga akan membuat pengaduan dugaan tindak pidana gratifikasi, korupsi atau penyalahgunaan wewenang kepada Jaksa Agung Republik Indonesia terkait penerbitan sertifikat tersebut.
“Selain itu kami juga akan membuat laporan pengaduan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SPPT, karena selama 22 tahun 4 bulan tanah itu telah diterlantarkan,” pungkasnya. (Mad/R4/HR-Online)